Beranda | Artikel
Zuhud Terhadap Akhirat: Alasan Kamu Dipanggil Alim, Padahal Cuma Salat 5 Waktu
18 jam lalu

Mungkin kamu pernah merasa heran ketika berada di tongkrongan atau lingkungan sosial lainnya, karena kamu bisa digelari “alim” atau “saleh” cukup dengan salat 5 waktu setiap hari dan bisa mengaji, meskipun kamu tidak merutinkannya. Teman-temanmu mungkin akan lebih heran, mempertanyakan kenormalanmu, hingga memanggilmu ustaz (baik serius maupun bercanda) ketika mengetahui komitmenmu untuk tidak merokok, tidak pacaran, atau menjauhi PMO (porn, masturbation, orgasm), meskipun mereka tahu alasanmu murni karena pertimbangan duniawi, dan akan lebih getol lagi jika ternyata yang menjadi pertimbanganmu adalah faktor agama.

Fenomena sosial ini sudah dirasa lumrah, khususnya pada kalangan muda akhir-akhir ini. Salah satu faktor yang mungkin menjadi alasan di baliknya adalah kondisi mayoritas masyarakat, terutama pemuda yang zuhud terhadap akhirat. Tulisan ini akan mengulas faktor ini, mulai dari akar pengaruhnya secara personal, hingga sebagian dampaknya pada pergaulan sosial.

Zuhud yang kita kenal

Zuhud terhadap akhirat berbeda dengan konsep zuhud yang banyak dipahami selama ini, yaitu zuhud terhadap dunia. Secara bahasa, zuhud berarti meninggalkan. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan pengertian zuhud dengan mengatakan,

الزُّهْدُ تَرْكُ مَا لاَ يَنْفَعُ فِي الآخِرَةِ

Zuhud (terhadap dunia) adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat bagi akhirat.” [1]

Imam Al-Junaid rahimahullah menggambarkan kondisi orang yang zuhud dengan menjelaskan,

فَالزَّاهِدُ لَا يَفرَح مِن الدُّنيَا بِمَوجُودٍ وَلَا يَأسَف مِنهَا عَلَى مَفقُودٍ

Orang yang zuhud tidak bergembira karena memiliki dunia, dan tidak bersedih karena kehilangan dunia.” [2]

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan dua hal. Pertama, zuhud adalah sebuah sikap hidup yang tidak memiliki minat dan kebutuhan berlebih pada suatu perkara. Alhasil, zuhud terhadap dunia adalah sikap meninggalkan atau tidak berminat, dan merasa tidak butuh pada perkara dunia yang tidak membuahkan kemaslahatan di akhirat.

Selanjutnya, zuhud merupakan amalan hati, sehingga kita tidak harus menjadi miskin dahulu untuk bisa zuhud terhadap dunia. Niatkan segala ikhtiar kita dalam mencari perkara duniawi yang halal untuk mencapai kemaslahatan akhirat. Dengan menjadikan dunia berada di tangan, bukan di hati, kita bisa menjadi seorang yang zuhud terhadap dunia, walaupun kita hidup berkecukupan.

Ibrahim bin Adham rahimahullah membagi zuhud terhadap dunia menjadi 3 jenis, yakni: zuhud fardhu, zuhud fadhl, dan zuhud salamah. [3]

Kita wajib menerapkan zuhud fardhu dan zuhud salamah karena keduanya berkaitan dengan batasan syariat, dan akan semakin baik bila turut mengamalkan zuhud fadhl.

Zuhud terhadap akhirat

Zuhud terhadap akhirat adalah sikap meninggalkan atau tidak berminat, dan merasa tidak butuh pada perkara akhirat. Sikap ini berkebalikan dengan zuhud terhadap dunia.

Sebagaimana zuhud terhadap dunia bisa dijalani tanpa harus hidup melarat, demikian pula zuhud terhadap akhirat, berlaku sebaliknya. Sedihnya, banyak orang yang mampu zuhud terhadap akhirat tanpa harus menjadi orang kaya. Faktanya, tak mesti jadi konglomerat dulu untuk melupakan akhirat.

Syekh Dr. Ahmad Farid hafidzahullah menyampaikan kaidah pembeda antara orang yang zuhud terhadap dunia dan orang yang zuhud terhadap akhirat,

كُلُّ مَن بَاعَ الدُّنيَا بِالآخِرَةِ فَهُوَ زَاهِدٌ فِي الدُّنيَا , وَكُلُّ مَن بَاعَ الآخِرَةَ بِالدُّنيَا فَهُوَ زَاهِدٌ أَيضًا , وَلَكِن فِي الآخِرَةِ

Siapa saja yang rela menjual dunianya untuk akhirat, maka ia seorang yang zuhud terhadap dunia. Dan siapa saja yang rela menjual akhiratnya untuk dunia, ia juga seorang yang zuhud, namun terhadap akhirat.[4]

Apabila kita mengacu pada kaidah ini, maka dapat kita katakan bahwa semua manusia adalah ahli zuhud. Pertanyaannya, zuhud jenis manakah yang ada pada diri kita selama ini?

Bentuk-bentuk zuhud terhadap akhirat

Untuk menggambarkan bentuk-bentuk zuhud terhadap akhirat, kita bisa membandingkannya dengan zuhud terhadap dunia dalam beberapa indikator berikut,

*indikator bukan batasan. [5]

Ringkasnya, orang yang zuhud terhadap akhirat tidak memiliki atensi dan antusiasme terhadap amal saleh, maupun segala hal yang dapat mendatangkan kebaikan di akhirat kelak. Hal ini berbanding terbalik dengan orang yang zuhud terhadap dunia.

Masyarakat yang zuhud akan akhirat

Intisari zuhud terhadap akhirat adalah kurangnya minat dan kebutuhan akan perkara yang dapat mendatangkan kebaikan di akhirat. Salah satu indikasi seorang yang mengalaminya adalah standar ideal amal salehnya yang rendah, baik secara kuantitas maupun kualitas. Alhasil, wajar saja apabila muncul keheranan ketika muncul orang yang memenuhi kewajibannya dalam beragama, di tengah mereka (para ahli zuhud terhadap akhirat) yang meninggalkan kewajiban tersebut.

Sedihnya, realitas menunjukkan bahwa orang yang zuhud terhadap akhirat bukan hanya satu orang atau satu keluarga saja. Fenomena ini sudah menyatu ke dalam sendi masyarakat. Demikianlah awal terbentuknya standar ideal amal yang minimalis, berbanding terbalik dengan tingginya standar untuk menjadi “orang” di muka dunia. Lantas, lahirlah banyak label “alim”, “saleh”, maupun “ustaz” di bawah standar syariat yang sebenarnya. Sekali lagi, baik hal itu muncul dalam konteks serius maupun bercanda.

Sikap kita

Mungkin kamu merasa bahwa amalmu itu bukan standar untuk mendapat gelar-gelar di atas, melainkan sebatas batas minimum untuk menjadi muslim yang normal, muslim yang sudah selesai dengan dirinya sendiri karena memenuhi fungsi eksistensinya untuk menghamba kepada Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Tetap istikamah, bersabar, dan bercengkrama dengan hikmah. Kita tidak diberi tugas untuk berdalam-dalam menyalahkan keadaan. Mungkin di balik dunia yang sedang tidak baik-baik saja, Allah ingin memberi ganjaran terbaik untukmu dengan menjadi jalan hidayah untuk mereka yang belum terbiasa melangkah di atas jalan kebaikan.

***

Penulis: Reza Mahendra


Artikel asli: https://muslim.or.id/103513-zuhud-terhadap-akhirat.html